Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Usman Hamid mengatakan jika pemerintah berkomitmen menyejahterakan rakyat, maka pemerintah mesti berani menempuh langkah nasionalisasi PT Freeport Indonesia. "Sangat mungkin, kalau pemerintah berani. Dalam arti menegakkan konstitusi dalam arti sepenuhnya. Seperti di Pasal 33 UU 45, dimana sumber daya alam, memang dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat," ujar Usman kepada Liputan6.com, Jakarta, Senin (31/10).
Usman melihat, persoalan Freeport dengan para pekerjanya selama ini adalah murni sengketa perindustrian. Dia mengatakan jika tak segera diselesaikan, tak tertutup kemungkinan muncul masalah baru, yang bergeser dari masalah utama dari kasus ini.
"Misalnya dalam polemik itu ditunggangi separatis, lalu pipa diputus, dan Freeport menyatakan akan berhenti berproduksi, yang kemudian membuat Pemerintah bingung. Kan ini tidak boleh," kata Usman mencontohkan.
Harusnya menurut Usman, nasib para pekerja di PT Freeport yang diperjuangkan negara supaya sejahtera. "Jangan justru dianggap sebagai musuh. Karena itu kembali ke Orde Baru, seperti kasus Marsinah."
Apalagi, lanjut Usman, ketika para pekerja PT Freeport di Papua sadar, adanya kesenjangan yang begitu mencolok. Dimana upah yang mereka peroleh dengan para pekerja Freeport di Amerika Serikat yang memiliki upah berkisar US$ 50 hingga US$ 250 per jam.
Karena itu, menurut Usman, sangat disayangkan jika tuntutan upah buruh Freeport di Papua sebesar USD 17-43 per jam tak dipenuhi. Bahkan sempat diturunkan, USD 12, lalu kemudian USD 7 di tahun pertama, untuk kemudian bisa dinaikan lagi ketika memasuki tahun kedua. "Inikan sebenarnya menunjukan mereka kooperatif, dan mereka mau diajak dialog," tutur Usman.
Memang menurut Usman, langkah menasionalisasikan Freeport sebenarnya langkah esktrem. Namun jika tak terlaksana, pemerintah harus mencari jalan tengah dan duduk bersama. Sehingga persoalan ini bisa cepat diselesaikan. "Supaya tidak ada lagi kekerasan, konflik, seperti saat ini," tandasnya.