Inovasi tanpa batas. Kalimat itu yang menginspirasi Thomas Quinn pendiri perusahaan E-Fuel dan menciptakan produk revolusioner, MicroFueler, alat untuk membuat ethanol rumahan. Disebut rumahan, karena bisa digunakan publik untuk membuat ethanol dari limbah rumah tangga.
Bentuknya mirip dispenser bensin di SPBU. Cuma warnanya didominasi hijau dan putih dan menggunakan bahan yang sama dengan mesin cuci, jadi bobotnya relatif ringan.
Terdiri dari tiga bagian. Pertama, MicroFueler beroperasi dengan bantuan pendukung MicroFusion Reactor untuk mengurai sampah organik menjadi cairan frementasi dengan kandungan gula. Cairan tersebut lalu diolah lagi menjadi ethanol dan langsung bisa diisikan ke tanki mobi. Ringkaskan!
Menurut perusahaan itu, keunggulan utama mesin itu adalah "suka yang manis-manis", dengan memfermentasikan gula menjadi bahan bakar. Gula adalah produk yang selalu terjangkau dan persediaan dunia selalu cukup.
Untuk proses produksi, mesin ini membutuhkan suplai air dan tenaga listrik 3 kWH atau sepersepuluh dari rata-rata konsumsi listrik harian rumah tangga. Dalam tujuh hari beroperasi, mesin ini mampu menghasilkan 70 galon atau 264,9 liter ethanol untuk dikonsumsi cuma-cuma.
Nah, pasokan listrik harus menggunakan generator khusus disebut GridBuster. Ketiga komponen dijual terpisah, harga totalnya 30.000 dollar AS (Rp266,1 juta).
Sebenarnya, E-Fuel diluncurkan pertama kali pada 2008 dan menjadi salah satu produk unggulan kota asalnya, Los Gatos untuk mendukung proyek California sebagai negara bagian paling hijau di Amerika Serikat dan juga di dunia.
Tapi karena harganya lumayan mahal, penjualan tidak sukses. Konsumen utama E-Fuel sampai kini masih lingkungan Universitas dan departemen pemerintah yang punya dana lebih.
Sayang, masih minim kendaraan yang punya mesin kompatibel mengonsumsi Ethanol sampai 85 persen (E85). Sampai kini AS baru menetapkan standar konsumsi ethanol E10.
Kalau dipasarkan di Brasil, dipastikan ada respon. Pasalnya, ethanol, E95 adalah bahan bakar utama di negara Samba tersebut.