Aku suka menulis. Itu terjadi bukan hanya karena hari ini atau karena sebab tertentu yang menjadikanku menyukai kegiatan itu. Menulis sudah menjadi hobiku sejak masih duduk di bangku sekolah dasar. Bukti suratku yang bertahun 1979, dalam bentuk huruf sambung yang rapi di atas kertas sobekan buku tulis yang kini warnanya sudah menguning, masih tersimpan dengan rapi bahkan kini terbungkus dalam plastik laminating yang akan mengabadikannya.
Catatan sehari-hari sudah barang tentu menjadi menu utama kegiatanku menulis. Bahkan temanku menonton televisi, bukan camilan pop corn atau secangkir coklat hangat, tapi pena dan buku tulis. Dahulu, satu-satunya saluran televisi hanyalah TVRI, sejak layarnya yang masih hitam putih, dan kalau mau biru harus dipasang filter di depan layar kacanya itu, kemudian berlanjut ke televisi swasta RCTI. Percayalah, aku masih menyimpan sebagian catatan petikan percakapan serial semacam Hunter, Remington Steele, serial Bold and Beautiful, juga Viper [jadi ketahuan ya, kalau aku jadul-dul!]. Kini di eranya televisi berlangganan, buku catatanku semakin bertumpuk dengan adanya beragam serial yang kusukai. Semua percakapan bahasa inggrisnya yang bisa kutangkap telingaku, pasti aku catat. Orang bilang, kurang kerjaan. It’s okay, yang penting aku senang melakukannya dan mendapatkan percik kebahagiaan saat melakukannya.
Kegiatan menulis tak hanya mencatat dialog saja, mencatat kata-kata serapan atau kata dalam bahasa inggris yang kurang familiar baik dari surat kabar maupun majalah, tapi juga catatan pengeluaran sewaktu aku masih bekerja. Kini, melihat kembali tahun-tahun di belakang yang sudah lama kulewati, sangat mengagumkan betapa dahulu kala uang seribu rupiah masih bisa membeli bermacam bentuk jajanan. Hobi menulis itu pula yang kemudian membawaku kepada profesi yang banyak berhubungan dengan buku, pena, kertas, komputer dan segala macam bentuk ATK. Meski sekarang semuanya tinggal kenangan, tak pernah kuduga aku akan bertemu lagi dengan kegiatan menulis yang begitu amat kusukai.
Puji syukur yang tak akan ada habisnya kepada Allah SWT yang dengan segala sifat kemahaannya. Kalau bukan karenaNya, tak mungkin sebuah karya dari seorang penulis tak dikenal yang berasal dari antah berantah, terwujud menjadi sebuah buku.
Menerbitkan sebuah buku bukanlah hal yang mustahil di jaman sekarang ini. Dengan dukungan teknologi yang menawarkan segala kemudahan, self-publishing bisa menjadi solusi cepat bagi siapapun yang ingin memiliki buku, asalkan memiliki modal. Namun mewujudkan sebuah karya menjadi sebuah buku, yang berawal dari ketertarikan sebuah penerbit, buatku seperti menemukan jarum di tengah padang ilalang.
Jadi, ijinkan aku untuk berbangga. Inilah Kanya! Kanya dan Bunga-bunga yang mengitarinya ! Buku fiksi perdanaku. Cerita tentang seorang gadis bernama Kanya, yang menanggung kesedihan mendalam karena kepergian ibundanya, dan keputusan ayahnya menikah lagi. Lalu di tengah kesulitannya beradaptasi dengan sang ibu dan kakak tiri laki-laki, Kanya bertemu dengan seorang tukang kebun misterius yang kelak justru akan membuka banyak tabir rahasia seputar keluarganya, yang tidak pernah diketahuinya selama ini. Dan bagaimana kehidupan Kanya yang melulu seputar bunga, karena ternyata namanya dirinya pun bermakna bunga. Hingga panggilan ‘Kembang Tembelek’ yang somehow begitu pas dengannya he he he. Penasaran…?? Hayoh, cepat angkat kakimu, tekan tombolmu, buka rekeningmu, bawa orang-orang terkasihmu… untuk memborong Kanya! (Sementara baru bisa dipesan di www.dumalana.com official site of Dumala Pustaka. Menyusul pendistribusian selanjutnya yang akan memudahkan teman-teman menemukan Kanya di semua mart yang kini tersebar segapaian tangan)
Sebuah karya yang bermimpi pun tidak! untuk dijadikan sebuah buku. Meski kusadari betul, masih banyak yang perlu dibenahi, namun ‘Kanya’ menjadi semacam ketapel bagiku untuk mempercayai bahwa dengan begitu banyaknya kekurangan yang kumiliki, masih tersisa sedikit yang dapat dibanggakan tak hanya oleh diriku, namun juga keluarga.
Kanya membuatku percaya bahwa masih ada sesuatu hal, sekeci apapun itu, seremeh aapapun itu, berhasil kutorehkan dengan luapan kebanggaan yang tak terkira. Di tengah segala keterbatasan diri, keterbatasan ruang dan waktu, aku masih bisa berbuat sesuatu. Bukan ingin bertinggi hati, tapi kebanggaan ini adalah satu bentuk penghargaanku kepada Dumalana yang telah bersusah payah ‘mengangkat Kanya’.
Terima kasih yang tak terhingga kepada Bapak Agus Haris Purnama Alam, Direktur Dumala Pustaka, beserta Ibu Duma tentunya, yang telah bermurah hati dan tak henti meyakinkanku tentang ketertarikannya pada Kanya. Terima kasih kepada Chief Admin, Bapak Harry Sentosa dan team yang dibawahinya, atas segala bentuk dukungannya.
Terima kasih kepada seluruh sahabat yang mohon maaf tidak dapat kusebutkan namanya satu per satu (halamannya tidak akan cukup! dan kesannya kok seperti sedang pidato penerimaan award apa, gitu?! He he he)
Terima kasih kepada keluarga yang telah ikhlas pada ego sentris-ku yang terkadang merampok sebagian tanggung-jawabku pada mereka. Percayalah, Allah Maha Melihat dan Dia jualah yang akan melimpahkan balasan pahala yang setimpal atas segala kebaikan hati yang telah kalian berikan kepadaku.
Semoga di masa mendatang, aku bisa lebih meningkatkan kreatifitas dalam menulis semaksimal mungkin tanpa perlu mengorbankan ini itu. Pantang mundur, meski usia mulai uzur, dan dekat dengan kubur, terus menulis dengan tetap dahi tersungkur, agar tak lupa untuk bersyukur
There is No me, without you, All ! Thank you !
Terima kasih, sungguh hanya Tuhan saja yang kuasa membalas budi baik anda semua…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar