Istanbul – Para perempuan Timur Tengah dari aktivis atau politisi hingga seniman dan pebisnis, kini berada di bawah lampu sorot dan berdiri tegak untuk pertama kalinya.
Stereotip mengenai perempuan Timur Tengah memang masih terus menjadi tantangan mereka. Demikian pula kekerasan dalam rumah tangga, masalah buta huruf dan pandangan konservatif yang menyebabkan terjadi jurang pemisah dengan lelaki.
Namun, perempuan Timur Tengah membuktikan mereka layak mendapatkan perhatian. Guncangnya sistem politik beberapa negara di kawasan yang memicu gerakan revolusi besar-besaran di Arab atau dikenal sebagai ‘Arab Spring’, menjadi sebuah kesempatan.
Lihat saja kaum perempuan Arab Saudi, yang baru saja mendapatkan angin segar setelah Raja Abdullah mengizinkan mereka untuk berpolitik serta menjadi anggota dewan penasihat kerajaan atau Dewan Syura.
Kebangkitan perempuan Saudi sebenarnya terlihat sejak April lalu, saat mereka dilarang mengikuti pemilihan DPRD. Muncul sebuah gerakan yang dinamakan ‘Saudi Women Revolution’ untuk mengakhiri hukum-hukum yang mendisriminasi perempuan.
“Terutama pengawasan pria dalam segala hal,” demikian Human Rights Watch. Kelompok pembela hak asasi manusia ini menekankan pada hukum yang mewajibkan wanita untuk meminta izin lelaki setiap kali melakukan sesuatu, apapun itu.
Adalah Nuha Al Sulaiman yang memulai gerakan ‘Saudi Women Revolution’. Seperti generasi muda Timur Tengah yang kini melek internet, Nuha menggunakan laman Facebook dan akun blog mikro Twitter sebagai media orasinya.
“Saya memulainya dengan tagar di Twitter, mengizinkan perempuan menuliskan hal-hal yang membuat mereka menderita. Tak mudah menggunakan kata revolusi, tapi saya harus melakukan sesuatu untuk meringatkan derita kami setiap harinya,” ujar perempuan berusia 28 tahun itu.
Kampanye ini sukses, mendapat perhatian hingga ke komunitas internasional. Seorang jurnalis dan blogger di Kuwait, Mona Kareem, menyampaikan dukungannya atas gerakan ‘Saudi Women Revolution’. Kareem ikut meneruskan suara para perempuan Saudi ini kepada dunia.
Setelah itu, perlahan tapi pasti di tengah memanasnya revolusi Arab, muncul berbagai tokoh perempuan yang jika di Indonesia bisa disetarakan Ibu Kartini. Mereka tak seperti pria yang mengangkat senjata untuk melawan penindasan.
Seperti perempuan mestinya, ada cara yang lebih smooth bagi mereka. Misalnya sutradara perempuan pertama Turki, Cahide Sonku, akan menampilkan karyanya di Istanbul Modern Art Museum. Ia akan menjadikannya sebagai selebrasi untuk seniman perempuan di negaranya.
Pameran bertajuk ‘Dream and Reality’ tersebut akan menandakan perubahan posisi perempuan Turki di masyarakat. Yakni dalam bentuk lukisan dan video oleh seniman perempuan selama 150 tahun terakhir. Turki juga memiliki mantan Perdana Menteri (PM) Tansu Ciller sebagai simbol wanita kuat.
Lalu ada Bothaina Kamel, politisi yang ingin menjadi presiden perempuan pertama Mesir. Perempuan berusia 49 tahun ini langsung menjadi simbol perjuangan perempuan di negaranya. “Sudah seharusnya kami lebih dilibatkan,” katanya.
Last but not least, jangan lupakan salah satu dari tiga peraih Nobel Perdamaian tahun ini. yakni Tawakkul Karman, seorang aktivis perempuan dari Yaman. Ia menjadi perempuan Arab pertama yang meraih Nobel Perdamaian, sekaligus yang termuda.