Kamis, 11 Agustus 2011

Penyakit langka menyerang salah satu siswi SMA di tangerang




Jakarta, Sejak kasus Azka dan Shafa terungkap, kasus Gullilain Barre Syndrome (GBS) lainnya mulai bermunculan. Di Tangerang, seorang remaja yang juga atlet basket di sekolahnya juga diserang GBS sejak 2 bulan silam dan kini dirawat di RS Dharmais.

Tissa Trinovia, remaja 17 tahun asal Neglasari Tangerang sudah 2 bulan menjadi penghuni ruang Intensive Care Unit (ICU) RS Dharmais, Jakarta. Ia didiagnosis GBS, sindrom langka yang sebenarnya hanya menyerang 1 dari 100.000 orang di seluruh dunia.

Berawal sejak 16 Juni 2011, Tissa yang biasanya aktif berkegiatan dan menjadi atlet basket di sekolahnya mendadak merasakan kesemutan di kakinya. Lama kelamaan, ia juga sesak napas dan kakinya sulit digerakkan sehingga langsung dibawa ke dokter praktik untuk mendapatkan pemeriksaan.

Semula dokter mendiagnosis Tissa hanya kekurangan Kalium, namun karena tidak yakin maka gadis itu langsung dirujuk ke RS Mayapada. Di RS Mayapada, dokter menemukan ada gangguan pada sistem saraf Tissa lalu menjatuhkan diagnosis suspect Myasthenia gravis (MG).

Karena kondisinya memburuk dan semakin sulit bernapas, pada tanggal 17 Juni 2011 siswi SMU N 1 Tangerang ini harus mendapat bantuan pernapasan melalui alat ventilator. Dokter juga merujuk Tissa ke rumah sakit lain, karena peralatan di RS Mayapada dinilai tidak memadai.

Tissa yang kondisinya sudah benar-benar lemas seperti orang mati suri akhirnya ditawari ke 3 alternatif rumah sakit sebagai rujukan, yakni RS Cipto Mangunkusumo, RS Persahabatan dan RSPAD Gatot Subroto. Namun ketiganya penuh, sehingga Tissa belum bisa dipindah dari RS Mayapada.

"Tissa baru bisa dipindah tanggal 20 Juni 2011, itupun bukan di RSCM, RSPAD maupun Persahabatan. Informasi yang saya dapat dari suster-suster di Mayapada, Dharmais juga punya alatnya, makanya Tissa kami bawa ke sana," ungkap Tasya, kakak kandung Tissa saat dihubungi detikHealth, Rabu (10/8/2011).

Saat tiba di RS Dharmais, Tissa yang masih berstatus suspect MG langsung masuk ke ICU. Sebelum akhirnya didiagnosis GBS, kondisi Tissa terus memburuk dan tidak bisa bergerak, bahkan dikatakan sempat koma selama 10 hari di rumah sakit tersebut.

Sama seperti kasus Azka dan Shafa, orangtua Tissa juga mengalami kesulitan biaya pengobatan yang harus ditanggungnya. Teguh, ayah Tissa hanya seorang pensiunan pegawai Angkasa Pura dengan uang pensiun hanya Rp 1,4 juta/bulan sementara biaya pengobatan selama di RS Dharmais sudah mecapai Rp 350 juta.

"Yang sudah dibayar baru Rp 170-an juta. Uangnya dikumpulin dari sumbangan teman-teman kantor, teman-teman Tissa sama jual mobil dan rumah. yang masih terhutang ada sekitar Rp 160 juta," kata Tasya yang merupakan karyawati dengan status kontrak di Angkasa Pura II.

Kini keluarga Tissa hanya berharap ada pihak yang ikhlas membantu meringankan beban tersebut mengingat GBS tidak bisa diprediksi kapan sembuhnya. Sedangkan untuk mengajukan keringanan biaya, keluarga Tissa kesulitan mengurus Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) karena tidak tergolong miskin.

Sementara itu seperti dikutip dari peduligbs.blogspot.com, Rabu (10/9/2011), Gerakan Seribu Rupiah yang dideklarasikan oleh rekan-rekan orangtua Azka dan Shafa pada Minggu (7/8/2011) hingga kini telah berhasil menghimpun dana sekitar Rp 250 juta. Selan untuk membantu Azka dan Shafa rencananya dana tersebut akan dipakai untuk mendirikan yayasan peduli GBS
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar